Renungan - Mengutip isi ceramah Zakir Naik saat beliau berada di Gedung Gymnasium Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, pada minggu 2 April 2017. Zakir Naik menganalogikan Islam dan pengikutnya seperti mobil dan pengemudi. "Pengemudi yang tidak tahu cara menyetir bisa terjadi tabrakan dan akan disalahkan. Kau tidak akan menyalahkan mobilnya. Seperti itu juga melihat Islam. Lihatlah yang ahli. Lihatlah kehidupan Nabi Muhammad SAW. Muslim mungkin hanya mengikuti sebagian Al Quran dan Hadis," kata Zakir menjawab seorang penanya.
Zakir mengatakan, banyak Muslim yang mencantumkan agama Islam dalam kartu identitas namun banyak yang meninggalkan Shalat. "Nama muslim, katanya, belum tentu beriman. Muslim palsu tidak akan ke surga, Islamnya nama saja," ujarnya. Muslim, kata Zakir, sebenarnya memiliki iman, melakukan perbuatan baik, serta mengajak orang pada kebaikan dan kesabaran.(antaranews.com)
Zakir mengatakan, banyak Muslim yang mencantumkan agama Islam dalam kartu identitas namun banyak yang meninggalkan Shalat. "Nama muslim, katanya, belum tentu beriman. Muslim palsu tidak akan ke surga, Islamnya nama saja," ujarnya. Muslim, kata Zakir, sebenarnya memiliki iman, melakukan perbuatan baik, serta mengajak orang pada kebaikan dan kesabaran.(antaranews.com)
Meninggalkan Shalat adalah Kafir atau Muslim Palsu?
Pendapat Imam Syafi'i
Sebagian orang memahami bahwa Imam Asy Syafi’i rahimahullah tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat. Namun yang tepat dalam hal ini, Imam Syafi’i adalah di antara ulama yang menyatakan hal demikian. Kesimpulan bahwa beliau tidak mengkafirkan itu tidak secara nash dari beliau. Dan sebenarnya hanya kesimpulan dari para ulama madzhab Syafi’i karena melihat indikasi dari perkataan beliau, bukan dari perkataan Imam Syafi’i secara tegas. (Lihat perkataan Syaikh Amru bin ‘Abdul Mun’im Salim dalam kitab Al Manhaj As Salafi ‘inda Asy Syaikh Nashiruddin Al Albani)
Imam Ath Thohawi rahimahullah telah menyandarkan perkataan bahwa Imam Asy Syafi’i menyatakan meninggalkan shalat itu kafir. Ath Thohawi berkata dalam Musykilul Atsar (4: 228),
و قد اختلف أهل العلم في تارك الصلاة كما ذكرنا , فجعله بعضهم بذلك مرتدا عن الإسلام , و جعل حكمه حكم ما يستتاب في ذلك , فإن تاب وإلا قتل , منهم الشافعي رحمة الله تعالي عليه
“Para ulama telah berselisih pendapat dalam masalah hukum meninggalkan shalat sebagaimana yang pernah kami sebutkan. Sebagian ulama ada yang menyatakan orang yang meninggalkan shalat berarti murtad dari Islam dan ia pun harus dimintai taubat. Jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy Syafi’i rahimahullah.”
Antara pendapat Abul Jauzaa’ dengan pernyataaan Syaikh Amru di atas, ada selisih faham dalam hal ini. Karena menurut pendapat Imam Asy Syafi’i, beliau tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan sebagaimana dinukilkan dalam Al Umm dan kami copy dari tulisan saudara kami Abul Jauzaa’.
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata,
مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ مِمَّنْ دَخَلَ فِي الْإِسْلَامِ قِيلَ لَهُ: لِمَ لَا تُصَلِّي؟ فَإِنْ ذَكَرَ نِسْيَانًا، قُلْنَا: فَصَلِّ إِذَا ذَكَرْتَ، وَإِنْ ذَكَرَ مَرَضًا، قُلْنَا: فَصَلِّ كَيْفَ أَطَقْتَ ؛ قَائِمًا، أَوْ قَاعِدًا، أَوْ مُضْطَجِعًا، أَوْ مُومِيًا، فَإِنْ قَالَ: أَنَا أُطِيقُ الصَّلَاةَ وَأُحْسِنُهَا، وَلَكِنْ لَا أُصَلِّي، وَإِنْ كَانَتْ عَلَيَّ فَرْضًا قِيلَ لَهُ: الصَّلَاةُ عَلَيْكَ شَيْءٌ لَا يَعْمَلُهُ عَنْكَ غَيْرُكَ، وَلَا تَكُونُ إِلَّا بِعَمَلِكَ، فَإِنْ صَلَّيْتَ، وَإِلَّا اسْتَتَبْنَاكَ، فَإِنْ تُبْت وَإِلَّا قَتَلْنَاكَ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ أَعْظَمُ مِنَ الزَّكَاةِ
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib bagi orang yang telah masuk Islam (muslim), dikatakan kepadanya : ‘Mengapa engkau tidak shalat ?’. Jika ia mengatakan : ‘Kami lupa’, maka kita katakan : ‘Shalatlah jika engkau mengingatnya’. Jika ia beralasan sakit, kita katakan kepadanya : ‘Shalatlah semampumu. Apakah berdiri, duduk, berbaring, atau sekedar isyarat saja’. Apabila ia berkata : ‘Aku mampu mengerjakan shalat dan membaguskannya, akan tetapi aku tidak shalat meskipun aku mengakui kewajibannya’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Shalat adalah kewajiban bagimu yang tidak dapat dikerjakan orang lain untuk dirimu.
Imam Ath Thohawi rahimahullah telah menyandarkan perkataan bahwa Imam Asy Syafi’i menyatakan meninggalkan shalat itu kafir. Ath Thohawi berkata dalam Musykilul Atsar (4: 228),
و قد اختلف أهل العلم في تارك الصلاة كما ذكرنا , فجعله بعضهم بذلك مرتدا عن الإسلام , و جعل حكمه حكم ما يستتاب في ذلك , فإن تاب وإلا قتل , منهم الشافعي رحمة الله تعالي عليه
“Para ulama telah berselisih pendapat dalam masalah hukum meninggalkan shalat sebagaimana yang pernah kami sebutkan. Sebagian ulama ada yang menyatakan orang yang meninggalkan shalat berarti murtad dari Islam dan ia pun harus dimintai taubat. Jika tidak bertaubat, ia dibunuh. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Imam Asy Syafi’i rahimahullah.”
Antara pendapat Abul Jauzaa’ dengan pernyataaan Syaikh Amru di atas, ada selisih faham dalam hal ini. Karena menurut pendapat Imam Asy Syafi’i, beliau tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan sebagaimana dinukilkan dalam Al Umm dan kami copy dari tulisan saudara kami Abul Jauzaa’.
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata,
مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ مِمَّنْ دَخَلَ فِي الْإِسْلَامِ قِيلَ لَهُ: لِمَ لَا تُصَلِّي؟ فَإِنْ ذَكَرَ نِسْيَانًا، قُلْنَا: فَصَلِّ إِذَا ذَكَرْتَ، وَإِنْ ذَكَرَ مَرَضًا، قُلْنَا: فَصَلِّ كَيْفَ أَطَقْتَ ؛ قَائِمًا، أَوْ قَاعِدًا، أَوْ مُضْطَجِعًا، أَوْ مُومِيًا، فَإِنْ قَالَ: أَنَا أُطِيقُ الصَّلَاةَ وَأُحْسِنُهَا، وَلَكِنْ لَا أُصَلِّي، وَإِنْ كَانَتْ عَلَيَّ فَرْضًا قِيلَ لَهُ: الصَّلَاةُ عَلَيْكَ شَيْءٌ لَا يَعْمَلُهُ عَنْكَ غَيْرُكَ، وَلَا تَكُونُ إِلَّا بِعَمَلِكَ، فَإِنْ صَلَّيْتَ، وَإِلَّا اسْتَتَبْنَاكَ، فَإِنْ تُبْت وَإِلَّا قَتَلْنَاكَ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ أَعْظَمُ مِنَ الزَّكَاةِ
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat wajib bagi orang yang telah masuk Islam (muslim), dikatakan kepadanya : ‘Mengapa engkau tidak shalat ?’. Jika ia mengatakan : ‘Kami lupa’, maka kita katakan : ‘Shalatlah jika engkau mengingatnya’. Jika ia beralasan sakit, kita katakan kepadanya : ‘Shalatlah semampumu. Apakah berdiri, duduk, berbaring, atau sekedar isyarat saja’. Apabila ia berkata : ‘Aku mampu mengerjakan shalat dan membaguskannya, akan tetapi aku tidak shalat meskipun aku mengakui kewajibannya’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Shalat adalah kewajiban bagimu yang tidak dapat dikerjakan orang lain untuk dirimu.
Ia mesti dikerjakan oleh dirimu sendiri. Jika tidak, kami minta engkau untuk bertaubat. Jika engkau bertaubat (dan kemudian mengerjakan shalat, maka diterima). Jika tidak, engkau akan kami bunuh. Karena shalat itu lebih agung daripada zakat” [Al-Umm, 1/281. Disebutkan juga oleh Al-Baihaqiy dalam Ma’rifatus-Sunan wal-Aatsaar, 3/117].
Sumber: rumaysho.com
Sumber: rumaysho.com
Post a Comment