Halloween party ideas 2015

Tidak Malukah Anda Mengaku Seorang Hamba?
Foto: artikelsiana

Agama - Kita begitu sering mengaku dan begitu percaya diri dan yakin sebagai seorang hamba Allah bahkan tidak merasa malu sedikitpum dengan pengakuan tersebut, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi dan mungkin dalam berbagai aktifitas. Pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri? pantaskah kita menjadi hamba-Nya?


Kata-kata ‘hamba’ berasal dari kata Arab, yang dikenal dengan ‘abdun', yang bermakna hamba, sahaya, sembah, dan mengecilkan diri di depan yang disembah (ma’bud). Saat kita sudah menyatakan diri hamba, maka posisi kita sangat kecil di depan tuan kita, sebagai pemiliki kita. Dan konsekuensi dari pengakuan kita sebagai hamba adalah kita harus patuh, tunduk dan taat kepada tuan kita. Saat kita melanggar larangan dan tidak mentaati tuan kita, tentunya teguran bahkan hukuman sekalipun akan kita terima.

Aqidah dan Ketauhidan Ajaran Rasulullah


Akan halnya makna hamba dalam status derajat manusia sesama manusia, begitu juga halnya makna hamba dalam perspektif ketuhanan. Saat kita mengaku atau menyatakan diri kita sebagai hamba Allah. Maka konsekuensi yang harus kita terima adalah kewajiban bagi kita untuk melaksanakan atau mematuhi semua perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan semua larangan Allah dan Rasul-Nya.

Manifestasi dari makna penghambaan kita kepada Allah tercermin dalam penghambaan kita kepada-Nya dalam bentuk ibadah. Ibadah yang dimaksud disini adalah dalam bentuk dan makna yang orisinil. Bukan dalam makna sebagaimana yang difahami oleh banyak orang saat ini.

Saat ini kata ibadah hanya didefinisikan secara parsial, sehingga esensi dari makna ibadah itu sendiri bias. Dan makna ibadah yang difahami saat ini hanyalah sebatas ritual-ritual peribadatan semata. Seperti shalat, zakat, puasa, haji dan ibadah lainnya yang  hanya bersifat ritual.

Dalam kitab Fikih Pergerakan, Sayyid Qutb menjelaskan bahwa, tatkala makna din (Agama) dan makna ibadah berubah di benak umat Islam, mereka memahami bahwa ibadah kepada selain Allah – yang menjadikan seseorang keluar dari Islam ke jahiliyah – adalah hanya berupa mempersembahkan ritual-ritual peribadatan kepada selain Allah, seperti mempersembahkan kepada berhala-berhala atau arca-arca! Sehingga, jika seseorang menjauhi perilaku ini maka ia benar-benar telah terbebas dari kemusyrikan dan jahiliyah; ia menjadi seorang Muslim yang tidak boleh dikafirkan! Sehingga, ia juga berhak memperoleh semua hak-hak layaknya diperoleh seorang Muslim dalam tatanan masyarakat islam: terpeliharanya darah, kehormatan, dan harta bendanya, serta hak-hak seorang Muslim atas Muslim lainnya.

Pemahaman seperti itu adalah batil, bias, dan reduktif. Bahkan, pemaknaan itu merupakan penggantian dan perubahan makna lafaz ibadah yang menjadi barometer masuk dan keluarnya seorang Muslim dari Islam.

Makna ibadah yang asli adalah ketundukan total kepada Allah Subhanahu wata’ala dan menolak tunduk kepada selain Allah dalam segala urusan.

Oleh karena barometer kehambaan seseorang itu diukur dari ibadahnya seseorang. Maka sudah selayaknya bagi kita untuk introspeksi diri, apakah kita sudah menjadi hamba yang Allah yang sebenarnya? Dan melakukan peribadatan sesuai dengan yang diperintahkan Allah kepada kita. Dan sudahkah kita tunduk secara total kepada Allah? Dengan menyerahkan semua ihwal kehidupan kita kepada Allah dengan menyuburkan sikap tawakkal kita kepada Allah SWT? Serta sudahkah kita mengambil aturan hidup yang sesuai dengan manhaj yang telah dibawa oleh Rasulullah…

Kalau kita belum mampu mewujudkannya dalam kehidupan kita, lantas, mengapa kita begitu berani mengaku sebagai hamba Allah. Padahal dalam kehidupan sehari-hari kita masih begitu jauh dari tuntutan dan tuntunan yang telah Allah berikan.

Mengaku diri sebagai hamba Allah memang begitu mudah, cuma yang selalu menjadi tanda tanya besar bagi kita dalam hidup ini adalah maukah Allah mengakui kita sebagai hamba-Nya. Jangan-jangan kita hanya manusia yang tidak tahu malu, mengaku sebagai hamba Allah, tetapi kita selalu saja melanggar larangan Allah dan meninggalkan perintah-nya. Na’uzubillah…

Namun, bagaimana pun, Allah melarang kita untuk berputus asa dari rahmat-Nya. Oleh karenanya, marilah kita untuk senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya dan memohon pengakuan-Nya akan penghambaan kita kepada-Nya. Sehingga kita menjadi hamba Allah yang sebenarnya yang diberkahi setiap langkah kita di dunia ini dalam menggapai kebahagiaan di akhirat kelak. Allahumma amin…

sumber ref: faridwajidi.wordpress.com

Post a Comment

Powered by Blogger.