Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al Kaba’ir, hal. 26-27)
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah RA: ”Terangkat pena (terlepas dari dosa) atas tiga, anak kecil sampai baligh, orang tidur sampai bangun dan orang gila sampai sembuh dari gilanya” (HR Abu Daud dan An-Nasai, hadits hasan)
Tidak wajib shalat bagi wanita yang sedang haid dan nifas dan tidak wajib baginya mengulangi (mengqadha) shalat-shalat yang ditinggalkanya selama haid dan nifas.
Mari kita renungkan rumus berikut:
![]() |
Klik memperbesar Gambar |
Rukun Shalat:
Pertama adalah Niat, (Pengertian niat adalah qashad dengan hati untuk mengerjakan shalat). Kewajiban niat dalam shalat berdasarkan hadits Rasulullah SAW: انما الاعمال بالنيات
Tujuan dari niat adalah untuk membedakan shalat dengan perbuatan lain yang bukan ibadah. Dalam niat, ada tiga hal yang wajib dihadirkan, yaitu:
1. Qashad, yaitu kesengajaan dalam hati akan melakukan shalat. Supaya terbeda dari perbuatan yang selain shalat.
2. Ta’arrudh, yaitu menyatakan dengan hati tentang mana fardhu (wajib) atau sunatnya Shalat, supaya terbeda tiap-tiap (fardhu / sunat) dari yang lain.
3. Ta’yiin, artinya menentukan shalat yang akan di kerjakan, misalnya shalat dhuhur, ashar dll.
Wajib meng-qashad melakukan shalat dan menta’yiinkan (menentukan) waktu shalat walau pada shalat sunnat yg bukan sunnat Mutlaq, seperti shalat sunat yang pelaksanaannya dalam waktu-waktu tertentu (termasuk didalamnya sunat rawatib, sunat tarawih, sunat dhuha dan sunnat dua hari raya), dan shalat sunat yang disebabkan oleh suatu sebab (seperti gerhana dan kemarau).
Adapun shalat sunat mutlaq, tidak wajib menta’yiinkan waktu shalat. Bahkan sah salatnya hanya dengan niat mengerjakan shalat. Seperti pada dua raka’at shalat tahyatul masjid, sunnat wudhu’ dan shalat istikharah.
Tentang Ta’arrudh
Wajib berniat melaksanakan shalat fardhu (termasuk fardhu kifayah, atau fardhu karena nazar) walaupun yang mengerjakannya adalah anak kecil. Contohnya seperti "sahaja aku shalat fardhu zuhur / fardhu jum’at (sekalipun imam sudah berada ada posisi tasyahud)". Dan pada niat, disunnahkan menisbahkan shalat kepada Allah (seperti mengucapkan “lillaahi ta’ala”). Tujuannya adalah untuk menampakkan keikhlasan hanya kepada Allah. Disunnahkan pula meniatkan shalat tunai/qadha.
Dan berdasarkan pendapat yang kuat, sah melakukan shalat tunai dengan niat qadha, begitu pula sebaliknya. Namun hal ini hanya berlaku bila dalam keadaan ozor, misalnya mendung, dsb. Jika tidak, maka shalatnya batal, karena dianggap talaa’ub (bermain-main) dalam ibadah. Dan disunnahkan pula berniat menghadap kiblat dan meniatkan jumlah raka’at.
Lafadz niat
Disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram, tujuannya adalah agar hatinya lebih fokus. Dan jikalau seseorang ragu apakah ia telah melakukan niat dengan sempurna atau tidak, atau terjadi keraguan apakah ia meniatkan shalat zuhur atau ashar? Maka jika ia teringat dalam frekuensi waktu yang lama, atau setelah melewati satu rukun (walau rukun qauliy, seperti bacaan surah al-fatihah), maka shalatnya batal. Dan jika teringat sebelum itu, maka tidak mengapa. (lbm.mudimesra.com)
Syarat-syarat Sahnya Shalat:
1. Mengetahui Masuknya Waktu Shalat mungkin kita sudah tahu sesuai firman Allah SWT:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
“… Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” [An-Nissa’: 103].
Tidak sah shalat yang dikerjakan sebelum masuknya waktu ataupun setelah keluarnya waktu kecuali ada halangan.
2. Suci dari Hadats Besar dan Kecil
bersuci atau طهارة (taharah) terbagi dua, yaitu:
a. bersuci dari hadas
b. Bersuci dari na'jis
Bersuci dari hadas terbagi dua, yaitu Hadas besar dan Hadas kecil
Hadas Besar adalah hadas yang mewajibkan mandi wajib terjadi karena 6 perkara, yakni:
1.bersenggama atau bertemunya dua khitan (meskipun tidak Inzal)
2.keluar mani baik sengaja atau tidak, baik dalam keaadaan sadar atau tertidur
3.melahirkan bagi perempuan
4.haid bagi perempuan
5.mengeluarkan darah nifas bagi perempuan
6.melahirkan bagi perempuan
Hadas kecil disebabkan oleh 5 hal, yaitu:
a. Keluar sesuatu dari pada qubul atau dubur selain mani.
b. Hilang akal sebab mabuk, gila atau pingsan.
c. Tidur kecuali bagi orang yang menetapkan duduknya dan rapat bawahnya.
d. Bertemu kulit laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram.
e. Menyentuh kemaluan dengan tapak tangan atau perut anak jari.
Dan hadits Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةً بِغَيْرِ طَهُوْرٍ.
“Allah tidak menerima shalat (yang dikerjakan) tanpa bersuci.” [1]
3. Kesucian Pakaian, Badan, dan Tempat yang Digunakan Untuk Shalat
Dalil bagi disyaratkannya kesucian pakaian adalah firman Allah:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan Pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Muddatstsir: 4).
Berdasarkan firman Allah:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid…” [Al-A’raaf: 31].
Yaitu, tutupilah aurat kalian. Karena mereka dulu thawaf di Baitullah dengan telanjang.
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يَقْبَلُ الله صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِحِمَارٍ.
“Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (baligh) kecuali dengan mengenakan penutup kepala (jilbab).” [7]
Aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Sebagaimana dalam hadits ‘Amr bin Syu’aib Radhiyallahu anhum, dari ayahnya, dari kakeknya, secara marfu’:
مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ.
“Antara pusar dan lutut adalah aurat.” [8]
5. Menghadap ke Kiblat
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“… maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya…” [Al-Baqarah: 150].
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang buruk dalam shalatnya:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِعِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ.
“Jika engkau hendak shalat, maka berwudhu’lah dengan sempurna. Kemudian menghadaplah ke Kiblat…” [12]
Boleh (shalat) dengan tidak menghadap ke Kiblat ketika dalam keadaan takut yang sangat dan ketika shalat sunnat di atas kendaraan sewaktu dalam perjalanan.
Allah berfirman:
فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا
“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan…” [Al-Baqarah: 239].
Catatan:
Barangsiapa berusaha mencari arah Kiblat lalu ia shalat menghadap ke arah yang disangka olehnya sebagai arah Kiblat, namun ternyata salah, maka dia tidak wajib mengulang.
Dari ‘Amir bin Rabi’ah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan di suatu malam yang gelap dan kami tidak mengetahui arah Kiblat. Lalu tiap-tiap orang dari kami shalat menurut arahnya masing-masing. Ketika tiba waktu pagi, kami ceritakan hal itu pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu turunlah ayat:
فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ
“… maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah…” [Al-Baqarah: 115].”[15]
sumber: https://almanhaj.or.id/936-syarat-syarat-sahnya-shalat.html
Post a Comment