TERSANGKA DAN TENGGELAM DI SURVEI
![]() |
instagram.com/basukibtp |
Polling yang dirilis Senin (14/11) itu menyebut Ahok-Djarot hanya memiliki elektabilitas 24,6%, di atasnya ada Anies-Sandi dengan 25,9%, sedangkan Agus-Sylviana tampil sebagai jawara survei dengan elektabilitas sebesar 27,6%. Sebanyak 21,9 % pemilih masih merahasiakan pilihannya.
Banyak pihak menilai hantaman bertubi-tubi terkait dugaan penistaan Alquran Surah al-Maidah 51 menjadi salah satu faktor utama penggembosan suara Ahok secara signifikan. Ketakutan terhadap kemungkinan kekalahan Ahok yang semakin menggejala membuat sekutu meminta Ahok mempertimbangkan kembali pencalonannya.
Terkait hal ini, mantan bupati Belitung Timur itu sendiri yang mengungkapnya ke publik. "Saya enggak usah ngomong. Tapi, kenapa mesti suruh saya mundur? Ini kan lucu," mengutip ungkapan Ahok yang ramai diberitakan. Menurut Ahok, tokoh yang memintanya mundur juga mengkhawatirkan jika demo menyasar Ahok akan dijadikan pintu masuk untuk menggoyang kekuasaan Joko Widodo.
Secara pragmatis, pengunduran diri Ahok akan menguntungkan koalisi. Pasalnya, jika dihitung dari gabungan suara partai pendukung, paslon yang diusung memiliki peluang menang yang cukup besar. Namun, faktor Ahok—yang sebelumnya disebut tiada tanding—justru membuat sebagian pemilih kabur, jika tidak memusihi dalam makna denotatif.
Penolakan terhadap Ahok tampak semakin nyata jika kita melihat sejumlah kasus pengusiran calon petahana tersebut saat melakukan kampanye. Cukup sering pula, pasangan Ahok-Djarot didemo warga saat kampanye. Kejadian ini sulit dicari referensinya pada pasangan calon lain di sejumlah Pilkada di Indonesia; bahkan, calon petahana harus lari terbirit-birit karena takut hendak diamuk warga.
Jika melihat tren perlawanan terhadap Ahok, demonstrasi susulan pascademo besar 411 juga berpeluang terjadi. Resikonya tidak hanya untuk Ahok dan pencalonannya di Pilkada DKI 2017, tetapi juga elektabilitas Jokowi pada 2019 dan pengaruh terhadap suara PDIP di pemilu mendatang.
Jika singgungan-singgungan yang berakhir pada aksi massa seperti ini dibiarkan, dampaknya secara luas akan merugikan, tak hanya bagi partai penguasa secara sempit, tetapi juga kestabilan negara dan ketahanan ekonomi secara lebih luas. Kemungkinan buruk ini ditangkap baik oleh Jokowi dengan melakukan kunjungan ke sejumlah barak militer sambil menegaskan secara verbal—padahal jelas semua orang tahu— bahwa dirinya pemimpin tertinggi militer. Akan tetapi, roadshow Jokowi belum meredakan ketegangan.
Akan tetapi, apabila menghendaki aspirasi massa untuk menghentikan pencalonan Ahok dengan memintanya mundur, pihak koalisi terutama PDIP akan berhadapan dengan para pembela HAM dan demokrasi. Suka atau tidak, gerakan penolakan Ahok telanjur dikaitkan dengan isu SARA. Dengan demikian, pengunduran diri akan dimasukkan ke dalam catatan hitam sejarah demokrasi Indonesia.
Koalisi, lagi-lagi terutama PDIP, tentu tak ingin dianggap kalah oleh gerakan—yang disebut—radikal ini. Kelompok yang disebut terakhir ini sekarang memang ikut mengambil kesempatan, dengan mengeksploitasi situasi. Dalam kondisi seperti ini, diperlukan kebijaksanaan politik tingkat tinggi untuk keluar dari masalah tanpa meninggalkan masalah.
Sebagai pemain lama dalam kancah politik Indonesia, koalisi pengusung Ahok pasti sudah memutar otak untuk menyikapi hal ini. Namun, apa pun caranya, mereka harus mempertimbangkan apa yang pernah dikatakan filsuf Jerman Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832), “Divide and rule, a sound motto; unite and lead, a better one.” Yang harus menjadi pertimbangan utama mereka adalah bagaimana menyatukan berbagai elemen bangsa lalu memimpin, bukan menggunakan cara penjajah, yakni pecah-belah lalu pegang kendali pemerintahan.(rimanews.com)
Post a Comment