“Bejel lele, tambah sambal!” seperti itu yang didengar oleh pelayan warung tenda dengan menu utama pecel lele, yang setiap malam melayani kebutuhan perut mahasiswa yang marak ngekos di sekitar kampus.
Baca juga: Karena dia malu kerja di Pizza Hut karena itu punya Amerika, sindir Ahok
“Hei, tambah sambal!” kata sang dosen dengan muka kurang puas.
“Baik!” jawab pelayan mengambil kembali piring berisi lele goreng, lalapan dan sambal milik pria Arab tersebut.
“Ni, wan, silakan.” Sambil menyodorkan piring tadi dengan sambal yang lebih banyak dari sebelumnya.
“Tambah sambal!” teriak sang dosen kesal, yang membuat beberapa pelanggan di sekitarnya terpaksa melirik.
Orang Arab tidak memiliki fonem hambat bilabial [p], sebagai ganti, mereka akan melafalkan dengan fonem terdekat, seperti bunyi hambat bilabial bersuara [b] atau bunyi labiodental [f].
Fenomena sejenis berlaku kepada penutur bahasa mana pun ketika harus dihadapkan kepada bunyi yang tidak ada di bahasa pertama mereka. Kita ambil contoh orang Sunda yang tersiksa melafalkan bunyi [f] ketika belajar bahasa Arab atau Inggris. Sebagai ganti, mereka akan membunyikan dengan [p], bunyi terdekat yang sudah ada di bahasa mereka.
Jadi, tidak perlu tersinggung jika pacar Anda, yang orang Sunda, bilang "I lop you". Maksudnya adalah I love you yang berarti 'aku cinta kamu', bukan I lop you (aku putusin kamu)
Bagaimana dengan Fitsa Hats-nya Habib Novel?
Orang ramai membahas keterangan Habib Novel Bamukmin yang diketik oleh penyidik dalam BAP, di kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Satu frase yang disorot adalah sang habib pernah bekerja di Fitsa Hats.
Kasus ini menjadi ramai gara-gara komentar Ahok. “Karena dia malu kerja di Pizza Hut karena itu punya Amerika, dia sengaja menuliskan Fitsa Hats,” kata Ahok enteng seperti biasa.
Kontan, sekjen FPI DPD DKI itu berang bukan kepalang. Merasa malu dan dirugikan, Novel menyalahkan polisi yang mengetik BAP sekaligus menuntut Ahok atas pencemaran nama baik.
Netizen pun terkekeh-kekeh; jagat maya ramai dengan postingan dan meme tentang Fitsa Hats. Novel pun mendadak jadi bintang.
Dari kaca mata fonologi, kesalahan pada pelafalan (dan penulisan) Fitsa Hats adalah hal yang wajar, terutama jika melihat latar penuturnya. Novel adalah pria keturunan Arab.
Jadi, saat memberikan keterangan, sangat mungkin Novel memang melafalkan Pizza Hut dengan /fitsa hats/. Kebanyakan orang Indonesia memang melafalkan pizza dengan /pitsa/. Lalu, /pitsa/ di alat ucap Novel berubah menjadi /fitsa/, sebagai pengaruh bahasa jati (first language inference).
Pergeseran seperti itu tidak hanya melulu dalam bahasa lisan tetapi juga tulisan. Kesalahan menulis ejaan sangat lazim ditemui. Misalnya, beberapa waktu lalu penulis berkunjung ke anjungan Papua di TMII. Di situ ada papan kecil bertuliskan “Ten Tosen” untuk biaya sekali potret dengan seorang warga asli Papua dengan baju tradisionalnya.
Jadi, kesalahan juga sangat mungkin dilakukan oleh seorang polisi yang bertugas sebagai juru ketik BAP. Bahasa ibunya bisa jadi mempengaruhinya dalam menulis kata-kata asing. Orang Betawi atau Sunda, misalnya, tak memiliki bunyi [f] dan sering melafalkannya dengan [p]; sebaliknya, banyak kosakata yang seharusnya [p] dilafalkan dengan [f], banyak yang tertukar-tukar, baik dalam bahasa lisan atau tulisan.
Fenomena seperti ini cukup dimaklumi saja, tidak perlu dihujat karena luka yang ditimbulkan bisa sangat dalam, bisa berkembang menjadi olok-olok yang bersifat SARA.
Oleh karena itu, jika ada turis Arab ke kedai pizza lalu memesan,”Fitsa tambah sambal,” pastikan dulu, apakah memang tambah sambal atau tanpa sambal; orang Arab tidak suka pedas.
Post a Comment