Foto Aksi Damai Massa FPI |
Newsacehtoday.ml - Ketua Setara Institute, Hendardi menilai aksi Front Pembela Islam (FPI) menuntuk pencopotan Kapolda Jawa Barat Anton Charliyan adalah bentuk teror dalam ketertiban sosial.
Pasalnya, supremasi intoleransi yang dipertontonkan FPI dan tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) sama-sama tidak diperkenankan dalam negara hukum. Dengan cara pandang yang demikian, kata dia, tidak relevan pula FPI kembali ramai-ramai berdemonstrasi mendesak pencopotan Anton Charliyan dari jabatannya sebagai Kapolda Jabar dan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol. M. Iriawan dan belakangan juga Kapolda Kalbar Irjen Pol. Musyafak.
"Supremasi hukum tidak boleh ditundukkan dengan supremasi kerumunan dan supremasi intoleransi yang saat ini menguasai ruang publik," kata Hendardi hari ini.
Hendardi menegaskan bahwa pemeriksaan atas pentolan FPI Habib Rizieq Shihab yang menjadi pemicu kericuhan itu adalah proses hukum biasa yang semustinya tidak perlu melibatkan massa.
"Sementara kericuhan adalah fakta yang muncul di tengah kerumunan massa yang saling berhadapan, dan siapapun pelaku kekerasan itu harus diproses secara hukum," kata Ketua Setara Institute Hendardi hari ini.
Kata Hendardi, beberapa orang yang diduga anggota GMBI harus diperiksa secara profesional. Demikian juga massa FPI baik yang melakukan kekerasan di Bandung maupun yang diduga melakukan pembakaran Sekretariat GMBI di Bogor (13/1) juga harus diproses secara hukum. Dengan jalan ini, supremasi hukum akan menjadi wasit yang adil bagi semua pihak.
Dikatakannya, bahwa ada aspirasi ketidakpuasan dan diekspresikan dalam bentuk demonstrasi dengan tuntutan pencopotan, itu sesuatu yang biasa dan dijamin oleh Konstitusi. Akan tetapi, ancaman dan ultimatum yang disebarluaskan oleh kelompok FPI di ruang publik yang mengiringi desakan pencopotan Anton Charliyan jika dibiarkan akan merusak tatanan sosial.
"Kapolri diharapkan bertindak proporsional dan profesional atas desakan FPI ini. Jika aspirasi ini dituruti, maka tesis bahwa supremasi intoleransi telah menguasai ruang publik dan mempengaruhi pergantian jabatan publik akan semakin terbukti. Tindakan itu akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola organisasi negara, seperti institusi Polri," jelasnya.
Hendardi mengemukakan Anton Charliyan yang menjadi pembina organisasi GMBI adalah sesuatu yang wajar dan lumrah. Ada banyak pejabat menjadi pembina dan pengurus organisasi kemasyarakatan, baik itu organisasi kesehatan, hobby, olahraga, maupun ormas.
"Jadi tidak ada hubungan antara kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang, kemudian dia tidak boleh menjadi pembina organisasi," katanya.
sumber: rimanews.com
Post a Comment